Selasa, 10 Januari 2017

Berkeliling tawarkan gigi palsu

Tukang gigi. ©2017 Merdeka.com/intan umbari
Tukang gigi. ©2017 Merdeka.com/intan umbari
Merdeka.com - Anda pasti sering melihat di pinggir jalan papan nama tukang gigi atau ahli gigi. Profesi ini sudah eksis di Indonesia sejak lama. Sempat dilarang oleh Kementerian Kesehatan, praktik tukang gigi hingga kini masih eksis. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dari zaman ke zaman?
Tukang gigi menjadi alternatif bagi sebagian orang untuk masalah gigi mereka. Ketimbang ke dokter, mereka memilih datang ke tukang gigi pinggir jalan. Sejatinya, para tukang gigi ini hanya menawarkan jasa pembuatan gigi palsu. Namun belakangan, mirip praktik dokter gigi di rumah sakit atau klinik, beberapa tukang gigi mampu menambal atau mencabut gigi hingga pemasangan kawat gigi atau behel. Padahal berdasarkan aturan, praktik itu dilarang, karena mereka hanya diperbolehkan menyediakan pembuatan gigi palsu.
Dari mana para tukang gigi itu bisa memiliki keahlian layaknya dokter gigi? Jazuli Idris (50), tukang gigi yang berada di kawasan condet Jakarta, Timur mengaku membuka jasa ahli gigi sejak tahun 1980-an. Pria asal Pamekasan, Madura, Jawa Timur itu menggeluti profesi tukang gigi sejak masih bujangan hingga kini punya dua anak yang telah dewasa.
Dari lokasi yang berpindah-pindah, Haji Idris, begitu dia biasa disapa, kini memiliki 'klinik' gigi depan rumahnya. Saat merdeka.com mengunjungi ke tempat praktiknya, ruangannya mirip di klinik gigi milik dokter resmi. Terdapat sebuah kursi khusus pasien yang mirip di klinik dan alat-alat kedokteran. Bedanya, saat berpraktik, Haji Idris tidak memakai jas dokter berwarna putih.
"Walaupun ada kursi seperti di (klinik) dokter gigi tapi saya hanya memasang gigi dan membuat gigi saja," kata Jazuli ketika ditemui merdeka.com di ruang kerjanya, Condet, Jakarta Timur, Kamis (5/1) lalu.
Tukang gigi Jazuli Idris2017 Merdeka.com/intan umbari
Tukang gigi Jazuli Idris2017 Merdeka.com/intan umbari
Idris menuturkan, dari pengakuan teman-temannya sesama tukang gigi, keahlian mereka tidak didapatkan dari bangku sekolah. Sebagian otodidak atau belajar sendiri, ada yang turun temurun dari orang tuanya, tapi ada juga yang ikut pelatihan mirip kursus.
Dia sendiri mengaku ikut kursus untuk menjadi tukang gigi di kawasan Tanjung Priok pada tahun 80-an. Dia belajar membuat gigi palsu dan proses itu tidak mudah karena butuh kesabaran. "Waktu itu kan teman-teman kita banyak yang pengangguran, lulusan dari sekolahan dan ada yang menawarkan kursus. Tadinya sepertinya enggak mau ada kemauan, tapi lama kelamaan ya sudah," cerita Idris.
Saat memulai usahanya sebagai tukang gigi, awalnya Idris berkeliling komplek atau perumahan menawarkan jasa tukang gigi dari rumah ke rumah. "Dulu itu keliling. Istilahnya door to door. Pertama saya merantau di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Nah di situ saya tuh sama teman-teman yang betul-betul ahli itu menawarkan dengan istilah door to door. Pada tahun 1981 itu keliling, enggak ada yang buka tempat seperti ini," terang Idris.
Idris menambahkan, dia berkeliling menawarkan pembuatan gigi palsu dengan membawa peralatan yang lumayan besar dan berat. Sebesar kotak mesin jahit. Jika ada pelanggan yang mau, proses pembuatan gigi palsu pun dilakukan di rumah pelanggannya.
"Dulu saya tawarkan seperti ini 'pak mau pasang gigi pak? Kayak gini bentuknya'. Jadi kalau pun misalnya jodoh, nyetaknya (gigi palsu) di rumah dia dan pasangnya juga di rumah dia. Alatnya dulu kita pikul kayak mesin jahit. Jarang dulu orang mau pasang gigi itu," tuturnya.
Saat itu, kata Idris, harga gigi palsu yang ditawarkan mulai Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per gigi. "Tapi pada saat itu belum canggih. Dilukis dulu, dibentuk, direbus. Kalau sekarang kan kita tinggal menerapkan saja," ungkapnya.
Gigi palsu 2017 Merdeka.com/intan umbari
Gigi palsu 2017 Merdeka.com/intan umbari
Pekerjaan sebagai tukang gigi terus ditekuni Idris tanpa dibantu asisten. Bahkan sejak pindah ke Condet dan membuka klinik pada tahun 1995 hingga sekarang, dia selalu bekerja sendiri.
"Pekerjaan saya ini sangat dibutuhkan, orang yang enggak mampu bisalah tadinya jelek jadi cakep. Tukang gigi seperti saya ini sangat membantu. Ya enggak bisa dipasang, bisa dipasang. Saya sering sarankan kepada pasien dibuka aja deh. Enggak ada masalah. Jadi bahasanya enggak merugikan masyarakat malah menguntungkan," ujarnya.
Saat ini, untuk pembuatan gigi palsu, Idris memasang tarif bervariasi tergantung dari bahan dan kualitas gigi yang diinginkan pelanggan. "Ada kualitas yang bagus. Pasaran Rp 100 ribuan, kemudian Rp 200 ribuan dan paling bagus Rp 500 ribuan. Dan saya juga berikan jaminan atau garansi," kata Idris yang juga menjabat Ketua Serikat Tukang Gigi Indonesia wilayah DKI Jakarta.
Dan dari penghasilannya sebagai tukang gigi, Idris bisa menguliahkan kedua putrinya. Bahkan salah satunya sudah ada yang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Sementara tukang gigi lainnya, Dwi Waris Supriyanto (47) mengaku memiliki keahlian secara otodidak. "Ya memang tukang gigi itu otodidak. Dan dasarnya turun temurun dari orang tua atau paman. Jadi kita sebagai penerus," terang Dwi yang ditemui di tempat praktiknya di Rusun Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Jumat (6/1) lalu.
Dwi yang juga Ketua Serikat Tukang Gigi Indonesia mengaku pasiennya tak hanya dari Jakarta. "Saya tidak mau menyebut mereka pasien. Saya menyebut mereka costumer. Bukan dari dalam negeri saja, juga ada dari luar negeri seperti Inggris dan negara lain," ujarnya.
Sumber : Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar